Rabu, 20 Agustus 2008

Dongeng Seribu Satu Malam

Putri Syahrazade berkata, Pada zaman dahulu kala hiduplah seorang putri yang sangat rupawan. Kecantikannya serupa seorang dewi. Rambutnya panjang dan hitam kemilau bak malam berbintang. Kulitnya berwarna putrih kemerahan seperti mutiara. Alis matanya bak semut beriring. Matanya bercahaya seperti lilin dalam kegelapan. Bola matanya hitam dan jernih bak air. Kita bisa berkaca ke dalamnya dan mendapatkan diri kita masuk ke dalam pusaran gaibnya. Hidungnya mancung bak pahatan terindah dan bibirnya merah seranum buah beri di musim panas yang tampaknya manis menyegarkan. Tubuhnya molek bak Ratu Mesir yang memakan mutiara direndam asam agar awet muda dan tubuh tak berubah bentuk dari mudanya.
Lalu terdengarlan kecantikan itu oleh seorang pangeran muda yang ingin melihat sendiri kecantikan sang putri dan menilai sejauh apa isi kepalanya yang katanya pintar dan bijaksana.
Lalu apa lanjutannya, Putri? Besok saja Baginda… aku sudah mengantuk.

Ayahanda sang putri ingin menikahkan putrinya. Tapi sang putri tidak ingin bersanding dengan siapapun karena ia tidak ingin terpenjara dalam istana dan kebebasannya terkungkung dalam rumah kaca. Kalau begitu bagaimana jika kita adakan sayembara agar yang terpilih kelak adalah pria rupawan pintar lagi kuat dan gagah yang pantas bersanding denganmu, Ananda? Baiklah Ayahanda, Ananda akan menjadi anak berbakti dan menuruti semua perintah Ayahanda, juga tradisi. Karena seorang wanita tak boleh hidup sendiri harus menuruti kodrat menjadi seorang ibu dan seorang istri.
Lalu diadakanlah sayembara bagi para pemuda gagah dari seluruh pelosok negeri. Datanglah , wahai pesohor, para pangeran, dan raja-raja seantero bumi. Kapan lagi ada kesempatan ini? Putri yang cantik akan melihat adu kepandaian & ketangkasan dan ia sendiri yang akan menjadi pialanya.
Kemudian bagaimana? Besok kita lanjutkan lagi, Baginda. Cerita ini masih panjang…..

Putri cantik melihat dengan sedih. Semua pemuda tampan lagi gagah melihatnya dengan penuh hasrat. Tak ada seorangpun yang dikenalnya dan mereka juga tidak pernah mengenalnya. Bagaimana mereka bisa menilai isi hati dari kulit? Bagaimana bisa melihat kucing dalam karung? Apakah seluruh penampilan fisik ini dapat menjadi dasar sebuah mahligai yang indah? Dan bila semua ini usai aku akan masuk ke dalam sangkar untuk selamanya tak akan bisa kembali.
Mengapa kau ceritakan ini, Putri? Mengapa tak seperti cerita yang biasa dikisahkan orang lain? Sayembara itu hal biasa, begitu juga perjodohan. Kenapa kau menjadikannya sebuah tragedi?
Karena aku berwawasan jauh ke depan. Akan ada masanya seorang wanita bebas menjadi dirinya sendiri. Bukan lagi merupakan tulang rusuk hilang seorang pria. Kelak pernikahan akan merupakan perjanjian dua manusia untuk saling membahagiakan. Bukan pencarian seorang pria terhadap wanita maupun sebaliknya.
Sudahlah Putri, kita lanjutkan besok saja. Hari ini aku tak lagi berhasrat mendengar kisah ini, tapi aku ingin tahu akhir ceritanya.

Sayembara telah dimulai. Dari seribu pegagah seluruh negeri hanya seratus yang lolos babak pertama. Padahal babak pertama hanya adu kekuatan. Dan tak ada lagi kesempatan untuk yang lemah mendapatkan sang putri cantik sebagai hadiah.
Babak kedua adalah adu ketangkasan. Sang Pangeran menarik busur dengan jarak yang tepat dan membidik apel tepat ditengahnya. Ia pun lolos babak kedua.
Dengan rasa penasaran ia melihat putri cantik bercadar hitam. Wajahnya tak terlihat, hanya matanya bersorot sedih seolah sedang memendam kepedihan bak datang ke upacara pemakaman. Apa yang kau sedihkan, wahai sang putri? Tak sabar aku ingin membuka cadarmu dan melihat seberapa cantiknya engkau sehingga berani mempermainkan seribu laki-laki.
Wajah Raja semakin bersemangat. Aku suka bagian ini. Aku tahu sekali bagaimana rasanya keinginan mendapatkan seorang putri cantik yang sombong dan menaklukkan keangkuhannya.
Putri Syahrazade menjawab dengan sedi. Kalau begitu kita lanjutkan besok, Baginda, karena aku harus mengingat dengan jelas urutan ceritanya…..

Sepuluh orang lolos dalam dua babak besar. Kini tinggal babak terakhir, yaitu adu kepandaian. Sang putri sendiri yang akan menguji dan satupun tak ada yang tahu isi soalnya.
Wahai pangeran-pangeran gagah perkasa yang kuat kepribadian lagi tangkas dan cekatan, hanya satu yang ingin kutanyakan, apakah itu cinta?
Seseorang menjawab, cinta adalah kasih saying. Lainnya, cinta adalah perasaan yang tumbuh di antara manusia. Cinta bisa bermacam-macam, cinta orang tua pada anak, cinta dua lawan jenis, dan cinta tanah air, kata yang berwajah pintar.
Cinta bisa menghangatkan jiwa. Cinta bisa pula menghanguskan. Cinta tidak bisa dijabarkan dalam satu kalimat pendek tapi kalau Putri berkenan akan saya buat satu buku tentang cinta untukmu.
Sang pangeran berkata tidak sabar, Jangan beromong kosong Putri, sesudah mengalahkan sembilan ratus sembilan puluh orang, apakah kau ingin mempermainkan kami dengan menanyakan hal remeh ini?
Putri menoleh padanya, Kalau begitu apa arti cinta bagimu, Pangeran? Pangeran tertawa dan menjawab, Aku akan mencintaimu Putri. Aku telah mendengar kecantikan dan luasnya wawasanmu. Sekarang, bukalah cadarmu dan aku akan mencintaimu. Karena wajahmu yang cantik itu akan membuatku mabuk kepayang.
Lalu apa uang dilakukan sang putri? Tanya Raja tak sabar. Baginda, hari sudah menjelang pagi, kita harus tidur. Masih banyak hari esok…

Sang putri membuka cadar hitamnya yang merupakan tabir yang membayangkan wajahnya yang cantik. Sinar matahari menerpa wajahnya memantulkan sosok sempurna seorang putri yang memang tak ada tandingannya. Seribu pegagah terpana memandangnya dan meraka merasa bahwa mereka mengerti arti cinta. Mereka jatuh cinta pada pandangan pertama dan mungkin sampai seumur hidup mereka. Sebab mereka tak akan lupa wajah secantik itu yang akan membuat mereka menyesal sampai akhir hayat karena hanya satu orang saja yang akan mendapatkannya.
Aku sudah tahu Putri! Kata pangeran bersemangat. Cinta itu adalah sesuatu yang membangkitkan jiwa dari tidur pulasnya selama ini. Ia bisa menggolak seluruh isi kepalaku dan juga menggetarkan seluruh tubuhku. Aku sudah merasakannya… pada dirimu.
Sang putri berkata padanya dengan sorot mata sedih, Kau salah Pangeran… kau tidak lolos babak ini kalau hanya itu arti cinta. Berarti perasaanmu hanya sekejab saja.
Jangan bilang kau akan melanjutkannya besok! Maaf Baginda, tapi Anda harus menjaga kesehatan.

Sang Pangeran menjadi kecewa dan mengeluarkan pedangnya. Ia membelah meja di hadapan putri hingga pecah berkeping-keping.
Seorang pangeran menjawab, Aku akan mencoba menjawabnya Putri. Kau benar, cinta itu adalah sesuatu yang sekejap, tapi kau salah bila mengira dengan cinta bisa bahagia. Pasangan jiwa adalah untuk dua orang yang saling mengerti dan memahami. Satu orang membantu yang lainnya melewati kehidupan ini. Perasaan cinta hanya hadiahnya.
Sang putri memdadak berseri dan menunjuk pangeran tadi. Ini pemenangnya, Ayahanda! Aku mau melewati sisa hidupku bersamanya, bersama pasangan jiwaku ini, yang akan membuat sisa hidupku bermakna.
Kau mambuatku kecewa Putri. Apakah hanya sampai di sini akhir cerita ini? Tidak Baginda, besok akan saya lanjutkan.

Sang putri diboyong pangeran ke istananya, dan mengundang banyak tanya dari seantero negeri seperti apakah pernikahan mereka nanti? Apakah seperti yang diinginkan sang putri?
Ketika ayahanda pangeran wafat, sang pangeran naik takhta. Sang putri menjadi permaisurinya.
Tahun-tahun pertama kehidupan mereka bahagia.Tapi pangeran bosan dengan satu istri saja, sebab para menteri menyajikan beberapa gadis muda. Sekali lirik saja sudah tahu bahwa di dalamnya manis dan masak.
Sang putri telah melahirkan beberapa putra, tapi anak-anaknya kehilangan kasih ayahanda mereka. Sebab para selir cantik tanpa isi lebih menarik dari pada ocehan seorang putri yang sok bijaksana.
Apakah kau menyindirku Putri? Tidak Baginda. Lalu apa artinya kau memceritakan semua ini? Bukankah kau tahu haremku penuh berisi selir, dan seorang Syahrazade tidak dapat memuaskanku? Aku tahu Baginda, ini hanya sebuah kisah. Bukankah Baginda senang aku berkisah? Bila Anda bosan, kita lanjutkan lagi esok hari.

Tahun demi tahun berlalu. Sang putri mempunyai seorang anak gadis. Ia menuruni kecantikan ibunya dan kegagahan serta kepandaian ayahnya. Anak gadis itu sudah saatnya menikah dan ayahnya ingin mengadakan sayembara untuknya. Sama seperti dulu, ketika ia memenangkan hati sang putri dan membawa piala itu pulang dengan penuh kebanggaan.
Tapi sang gadis jatuh cinta pada pelayan istana dan telah menjalin hubungan cukup lama. Ketika sang ayahanda tahu, ia mengurung anak gadisnya dalam sebuah menara, tak melepaskannya sampai hari sayembara tiba.
Kisah seperti apa ini? Bagaimana pula akhirnya?
Sabar Baginda, akan saya lanjutkan lagi esok.

Gadis muda menolak makan berhari-hari. Penganan mewah sampai kesukaannya tak disentuh. Tubuhnya kian lama kian kurus dan tak punya daya lagi untuk berdiri.
Lalu ibunda datang menjenguk. Sang putri berkata pada anaknya. Anakku, makanlah agar tubuhmu kuat. Saya tidak ingin hidup lagi, Ibunda. Makan dan hidup adalah suatu hal yang berbeda. Bila kau tak ingin hidup lagi, bunuh diri saja sekalian. Gadis itu menatap ibundanya dengan bingung. Aku tahu kau mencintainya. Malam ini, aku akan melepasmu pergi, berdua dengan kekasih pilihanmu. Mengapa kau berbuat ini, Ibunda? Karena aku tak ingin nasibmu sepertiku, terpenjara dalam dunia tanpa jeruji dan mengulangi nasib yang sudah sejak dulu berulang beribu generasi. Aku mau kau menjadi seorang wanita bebas. Pergilah. Bila kekasih pilihanmu takut membawamu pergi, pergilah sendiri.
Lalu, apakah ia pergi? Aku tidak tahu Baginda. Ia butuh waktu semalaman untuk berpikir. Apa pun hasilnya, itu adalah kemauannya sendiri. Itu pilihan bebasnya, dan akibatnya harus ia tanggung sendiri.

Kemerdekaan hati,
Bisa dilihat tak bisa disentuh.
Syahrazade menatap pemandangan di balik jendela.
Ia bisa keluar dengan mudah.
Tapi jendela ini adalah penjara tanpa kunci.
Tak mudah untuk benar-benar bebas.

Tidak ada komentar: